Rabu, 04 Februari 2015

Et Ex Mente Tota, Sum Presentialiter PSS Sleman! || Kompasiana
Fenomena menarik tengah terjadi di dunia persepakbolaan Indonesia khususnya di Sleman. Di wilayah yang berada di tengah garis imajiner Merapi – Tugu Jogja tersebut, klub lokal bernama PSS Sleman ternyata memiliki basis supporter cukup besar yang dikenal kreatif, bahkan dikenal hingga mancanegara. Berkat dukungan suporter pula klub PSS Sleman bisa memiliki kondisi finansial yang baik. Meskipun saya adalah wong Sleman, fenomena ini ternyata luput dari pengamatan saya. Sebelumnya, dunia sepakbola Indonesia memang tidak menarik perhatian saya karena seringnya diterpa berbagai masalah. Sudah menjadi rahasia umum bila berlarut-larutnya konflik di tubuh PSSI telah meninggalkan dampak yang serius bagi sepakbola Indonesia. Sudah teramat jengah publik disuguhi drama konflik di tubuh PSSI yang tak kunjung selesai. Prestasi Timnas kian terpuruk, dualisme kompetisi berlarut-larut, manajemen klub amburadul sehingga gagal menggaji pemain, serta maraknya kerusuhan antar supporter adalah beberapa kesan yang saya rasakan bila orang menanyakan tentang sepakbola di Indonesia kepada saya. Namun, PSS Sleman rupanya menjadi salah satu oase di tengah gersangnya persepakbolaan Indonesia.
Bagi kebanyakan orang di Indonesia termasuk saya, menonton pertandingan sepakbola kompetisi Eropa seperti Seria-A, BPL, dan La Liga jauh lebih menarik. Tidak sedikit diantara kita yang kemudian mengklaim diri menjadi supporter salah satu klub top Eropa. Membeli jersey klub, memasang poster pemain idola, begadang menontong pertandingan dan nonbar di kafe-kafe, dan menjadi member kelompok suporter adalah beberapa cara untuk menunjukkan kecintaan terhadap klub. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mendukung tim kesayangan mulai dari yang paling militan hingga yang paling absurd. Pada akhirnya, ada hal aneh yang mulai mengganggu hati dan pikiran saya. Mengapa orang-orang bisa sedemikian fanatik terhadap sebuah klub eropa?, mengapa mereka sampai berdebat konyol dan rasis di dunia maya hanya karena tim mereka kalah?, mengapa bisa begitu bangga dengan klub padahal terpisah benua dan bertemu idola hanya di depan layar kaca?. Tidak salah memang memiliki kesukaan terhadap sesuatu, tapi bagi saya itu adalah hal yang aneh.
Saya jadi merasa heran dan lucu sendiri, meskipun mengklaim sebagai Manchunian, menonton di Old Trafford pun belum pernah saya lakukan. Kebanggan saya terhadap sebuah klub ternyata hanya bisa saya tunjukkan sebatas dengan update berita klub dan skor pertandingan MU. Apa hebatnya dan dimana menariknya?. Barangkali itu pula yang dialami anda-anda sekalian bukan? Meminjam istilah Vicky, ada semacam kontroversi dalam hati saya J. Passion saya mulai berkurang terhadap klub idola. Seperti kata Sir Alex, “Ketika esok pagi terbangun dari tidur, tidak perlu lagi merasa sakit bersama MU bila mereka kalah”. Ada keinginan untuk benar-benar merasakan menjadi seorang supporter sejati dan bisa mendukung langsung tim di stadion. Kemudian saya mulai mengalihkan perhatian ke klub lokal di mana saya tinggal. PSS Sleman.
Klub PSS Sleman sebenarnya sudah menarik perhatian saya sejak kecil saat masih berkandang di Stadion Tridadi. Hanya saja saat itu keinginan untuk datang ke stadion dan bergabung dengan Slemania belum begitu besar walaupun jarak rumah dan Stadion Tridadi tidak jauh. Generasi Marcelo Braga, Anderson Da Silva, M.Iksan, Seto Nurdiantoro, M “Bagong” Ansori adalah sedikit deretan punggawa yang saat itu saat itu saya ingat. Setelah generasi itu, saya tidak lagi aktif mengikuti perjalanan tim yang identik dengan warna hijau ini. Kini, Kandang PSS Sleman telah berpindah stadion megah Maguwoharjo International Stadium dan tentu dengan skuad yang berbeda pula. Sempat diwarnai perpecahan kelompok supporter yang kemudian melahirkan BCS [Brigata Curva Sud) dengan identitas ultrasnya, suasana kembali kondusif setelah dilakukan rekonsiliasi hingga hubungan antara Slemania dan BCS harmonis. Keduanya, dan juga Sleman Fans lainnya menjadi tulang punggung PSS Sleman dalam mengarungi kompetisi. Iklim sepakbola Sleman pelan tapi pasti memperlihatkan geliatnya.
Awal kompetisi Divisi Utama LPIS musim ini [2013) adalah titik balik bagi saya dalam memaknai apa yang disebut sebagai suporter sejati. Saya datang ke stadion Maguwoharjo untuk melihat seperti apa rasanya menonton langsung laga PSS Sleman. Luar Biasa!, Itulah kesan yang saya rasakan ketika menjadi bagian dari puluhan ribu yang memadati stadion. Saya langsung jatuh cinta dengan euforia tersebut ketika pertama kali menjejakkan kaki di tribun penonton. Ribuan orang menyanyikan chant dukungan menghasilkan gema yang menggetarkan. Di tengah jalannya pertandingan sesekali mata mencuri arah ke tribun utara dan selatan tempat dimana Slemania dan BCS memberikan dukungan. Selama 2 X 45 menit tak hentinya mereka berdiri dan bernyanyi sambil memeragakan koreo khas ultras di luar negeri. Sebuah suguhan yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Pertanyaan yang mengganggu saya terjawab saat itu juga. Inilah supporter sejati! Merekalah yang mengajarkan kepada saya bagaimana seharusnya mendukung klub.
Meskipun berada di tengah kompetisi yang amburadul, mata kepala saya menyaksikan sendiri besarnya antusias publik Sleman dalam mendukung PSS Sleman. Walaupun kejelasan promosi ke level kompetisi LSI masih abu-abu, hal tersebut tidak menyurutkan antusiasme Sleman Fans. Kampanye No Ticket No Game memiliki dampak yang nyata bagi perjalanan PSS Sleman mengarungi kompetisi musim ini. Rata-rata 20rb lembar tiket ludes terjual tiap pertandingan home dan menghasilkan pemasukan besar bagi manajemen PSS Sleman. Belum lagi unit usaha mandiri yang dimiliki kelompok supporter seperti Curva Sud Shop, CS Mart, Elja Ngangkring, Outlet Slemania dan lain-lain juga tidak mau kalah dalam memberikan dukungan finansial bagi klub. Sebuah dukungan nyata dan bukan omong kosong belaka!. Bagi saya, ini sebuah anomali. Di saat klub-klub lain mengalami kesulitan finansial dan seringkali mangkir membayar gaji pemain, klub sekelas PSS Sleman justru mampu bertahan dan profesional dengan dukungan para suporter. Inilah yang membuat saya bangga menjadi bagian dari Sleman Fans.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Sleman Fans yang lain, saya berterimakasih dan angkat topi bagi rekan-rekan BCS dan Slemania. Lewat mereka saya bisa menemukan arti dan identitas suporter sejati. Merekalah yang memperkenalkan saya kepada PSS Sleman hingga jatuh hati padanya. Tidak penting bagi saya apa warna atribut kita, di tribun mana kita duduk, BCS ataupun Slemania, ikut awayday atau tidak. Tidak boleh ada yang merasa paling berhak dan berjasa mendukung PSS Sleman karena Dia adalah milik kita bersama. Masing-masing dari kita punya cara sendiri untuk menunjukkan cinta dan dukungan kepada PSS Sleman, bahkan hanya dalam bentuk do’a sekalipun. Namun bagi saya, memilih berdiri di tribun selatan dan lantang bernyanyi adalah sebuah kehormatan tersendiri. Itu adalah harga yang pantas untuk membayar keringat pemain PSS Sleman yang berjuang di lapangan. Bukan nama besar kelompok yang membuat saya bangga, bukan koreo yang membuat saya rela membeli tiket, bukan karena pemain bintang yang membuat saya datang ke stadion. Tapi karena PSS Sleman adalah sebuah kebanggaan. Mulai saat ini, saya memilih menangis dan bahagia bersama Super Elang Jawa untuk selamanya.
PSS Sleman Kebanggaan Kami! Jiwa Raga Kami!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar